Kabupaten Bojonegoro yang dibelah oleh Bengawan Solo dengan Luas wilayah 235.000 Ha (40,15% wilayah hutan Negara, 32,58% lahan sawah, 22,42% adalah tanah kering dan sisa nya 4,85% adalah perkebunan dan lain-lain). Terdiri dari 28 Kecamatan, 419 Desa 11 Kelurahan dengan jumlah penduduk 1.298.551 jiwa yang mana 644.303 berkecimpung di sektor pertanian, juga kaya sumber daya alam (hutan, pertanian dan migas). Dengan tantangan banjir dan kekeringan, tanah gerak, infrastruktur dan jalan rentan rusak dan yang pasti memiliki sejarah panjang dalam kemiskinan (Endemic Poverty) 18,78% berdasarkan penelitian DR. C.L.M Penders yang tertuang dalam bukunya " Bojonegoro 1900-1942, A Story of Endemic Poverty in North-East Java-Indonesia. Kini atas hasil perhitungan angka kemiskikan kabupaten/kota tahun 2016 yang telah selesai dilakukan oleh Badan Pusat Statistik Republik Indonesia (BPS RI), Kabupaten Bojonegoro dinyatakan sudah terlepas dari peringkat 10 kabupaten/kota dengan tingkat kemiskinan tertinggi.

       Menurut BPS RI melalui surat yang ditujukan kepada Kepala BPS Kabupaten/Kota se Jawa Timur Nomor B-35000.052/BPS/9200/06/2017 perihal Angka Kemiskinan Kabupaten/Kota 2016, bahwa Kabupaten Bojonegoro saat ini menempati peringkat 11. Dengan persentase penduduk miskin (P0) pada tahun 2016 sebesar 15,71 dan garis kemiskinan Rp. 284.319/kapita/bulan dibandingkan tahun 2015 dengan persentase penduduk miskin (P0) sebesar 14,60 dan garis kemiskinan Rp. 295.250/kapita/bulan, maka terdapat perubahan -1,11 dengan kenaikan garis kemiskinan 3,84%. Sedangkan 10 kabupaten/kota di Jawa Timur dengan angka kemiskinan tertinggi secara berurutan mulai peringkat pertama disandang oleh Kabupaten Sampang, Bangkalan, Probolinggo, Sumenep, Tuban, Pamekasan, Pacitan,  Ngawi, Bondowoso, dan ke-10 disandang oleh Kabupaten Lamongan.

       Rahmat Junaidi, Sekretaris BKPP (Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan) Kab. Bojonegoro yang pernah sebagai anggota TKPK (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan) Kabupaten Bojonegoro saat di BAPPEDA menyatakan bahwa jika tidak salah inilah untuk pertama kali dalam sejarahnya, berdasarkan urutan persentasenya Bojonegoro keluar dari 10 kabupaten/kota termiskin di Jawa Timur. Bojonegoro keluar dari zona sepuluh besar kabupaten/kota termiskin di Jatim ini merupakan prestasi luar biasa, karena hasil sumber daya alam (SDA) berupa minyak dan gas bumi (migas) baru dirasakan Bojonegoro sekitar tahun 2010 untuk Blok Tuban, sedangkan hasil minyak Blok Cepu baru dirasakan Bojonegoro mulai tahun 2013. Bahwa dengan pengelolaan anggaran yang baik dan terencana mampu mengubah Bojonegoro yang dahulu adalah daerah termiskin nomor 1, sekarang ini menjadi nomer 11.

       Rahmat Junaidi juga menegaskan bahwa untuk mencapai ini bukan semudah membalik telapak tangan, karena dalam mengukur kemiskinan terdapat 14 indilator. Yang bisa mengukur angka kemiskinan dan diakui tingkat validitasnya adalah Badan Pusat Statistik (BPS). Sehingga apapun data BPS kita wajib mengikuti walaupun kenyataan di lapangan. Dia juga menjelaskan bahwa apa yang dicapai Bojonegoro sekarang ini melebihi kabupaten/kota lain di Jawa Timur, karena Bojonegoro memulainya di bawah nol, sedangkan kabupaten/kota lain di atas nol.

       Kusnandaka Tjatur P Kepala Dinas Kominfo Kab. Bojonegoro, terkait hal ini memberikan perumpamaan "Andai start dan kecepatan berlari, daerah lain start sudah mulai dari angka di atas nol, dengan kecepatan 40 km/jam pun akan tetap di depan. Sedangkan Bojonegoro memulainya dari di bawah nol. Saat sekarang ini Bojonegoro telah berlari degan strategi yang tepat telah mencapai kecepatan 80 km/jam bahkan 100 km/jam. Bahwa, cara membandingkan keberhasilan dalam menangani kemiskinan bukan dilihat pada urutannya, melainkan bagaimana strategi dan percepatannya, hal ini sesuai catatan World Bank Bojonegoro tercepat dalam strategi capaiannya”, ungkap Kusnandaka Tjatur P.

       Sejumlah strategi yang dilaksanakan Bojonegoro untuk mengurangi kemiskinan di wilayahnya diantaranya melalui program gerakan desa sehat dan cerdas (GDSC), menarik investor untuk membangun usaha padat karya di pedesaan dengan kemudahan perizinan, infrastruktur penunjang, tenaga terampil, transparansi anggaran mulai tingkat pemerintahan desa, serta kolaborasi 4 sekawan (Akademisi, Bisnisman, Peemerintah dan Komunitas).

       Sesuai surat BPS RI tersebut, jumlah penduduk yang digunakan dalam penghitungan kemiskinan kabupaten/kota tahun 2016 adalah penduduk proyeksi kondisi Maret 2016. Bahwa membandingkan dengan data tahun 2015, sejumlah 7 kabupaten/kota mengalami kenaikan angka kemiskinan, selebihnya 31 kabupaten/kota mengalami penurunan angka kemiskinan. (Nuty/Dinkominfo)


By Admin
Dibuat tanggal 07-06-2017
2619 Dilihat
Bagaimana Tanggapan Anda?
Sangat Puas
79 %
Puas
7 %
Cukup Puas
0 %
Tidak Puas
14 %