Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan RSUD Sosodoro Djatikoesoemo Bojonegoro terus mengedukasi masyarakat terutama di bidang kesehatan. Melalui SAPA! (Selamat Pagi!) Malowopati FM, edisi Rabu (14/6/2023),
masyarakat Bojonegiri diajak untuk menjaga kesehatan mata dengan mengenali dan memahami kelainan refraksi.

Kembali dipandu penyiar Lia Yunita, SAPA! Malowopati FM menghadirkan narasumber dr. Agung Pambudi, Sp.M dokter spesialis mata di RSUD Sosodoro. Siaran ini dapat diikuti secara live YouTube Malowopati Radio dan interaksi langsung melalui nomor WhatsApp 08113322958.

Mengawali SAPA!, dr. Agung Pambudi, Sp.M menjelaskan bahwa kelainan refraksi merupakan suatu kondisi dimana mata tidak mampu mengatur fokus cahaya dengan jelas, yang berdampak pada penglihatan bayangan benda yang buram atau tidak tajam. Beberapa faktor penyebabnya meliputi kelainan bentuk bola mata yang terlalu panjang atau pendek, perubahan bentuk kornea, dan proses penuaan pada lensa mata.

Seringkali, orang tua salah mengartikan penyebab sakit mata pada anak mereka, bahkan marah saat anak melihat TV atau menggunakan ponsel dalam jarak dekat, menganggap bahwa itu menyebabkan sakit mata. Padahal, hal sebenarnya adalah sebaliknya. Jika anak mengalami kelainan refraksi, maka untuk melihat dengan jelas, ia harus mendekatkan mata ke objek yang dilihat.

Dr. Agung mengungkapkan, kelainan refraksi terbagi menjadi beberapa jenis, seperti minus atau rabun jauh (miopi), plus atau rabun dekat (hipermetropi), dan silinder (astigmatisme) yang merupakan kelainan bentuk kornea. Penting untuk dicatat bahwa kelainan refraksi bukanlah penyakit yang menular, melainkan kondisi bawaan atau genetik.

"Kelainan refraksi dapat terjadi pada segala usia dan gender. Salah satu penelitian menyatakan bahwa, jika salah satu orang tua menggunakan kacamata atau menderita kelainan refraksi, maka kemungkinan kelainan tersebut diturunkan kepada anaknya adalah sekitar 25%," jelas dr. Agung.

Dalam mengatasi kelainan refraksi, pemakaian kacamata menjadi solusi yang umum dan paling aman digunakan. Namun, jenis kacamata yang diperlukan tergantung pada tingkat keparahan kelainan refraksi yang dialami. Pada beberapa kasus kelainan refraksi besar/berat, hanya dapat dikurangi dan tidak dapat disembuhkan.

Pada umumnya, tingkat minus 0-3 dianggap kecil, 3-6 sebagai tingkat sedang, dan di atas 6 sebagai tingkat besar. Jika tingkat minus mencapai 6 atau lebih besar, kacamata akan memiliki ketebalan yang signifikan, sehingga menurunkan estetika. Untuk menghindari hal tersebut, penggunaan lensa kontak yang menempel langsung pada kornea mata dapat menjadi alternatif. Selain itu, ada juga metode lasik yang menggunakan alat laser untuk membentuk ulang kornea mata agar mencapai bentuk yang normal.

Lanjut, dr. Agung Pambudi juga menekankan bahwa pertumbuhan mata berhenti pada usia 20 tahun. Oleh karena itu, bentuk bola mata masih dapat berubah atau dikoreksi menjadi normal sebelum mencapai usia tersebut.

"Untuk pemakai kacamata berusia di bawah 20 tahun, dianjurkan untuk memeriksakan kondisi mata setiap 6 bulan sekali. Karena pada usia tersebut, bola mata masih dalam masa pertumbuhan dan masih dapat mengalami perubahan bentuk. Bagi pemakai kacamata yang berusia di atas 20 tahun, disarankan untuk selalu memeriksakan mata setidaknya setahun sekali," tukasnya.

Menutup penjelasannya, dr. Agus mengajak semua lapisan masyarakat untuk selalu menjaga kesehatan mata. Karena mata merupakan satu-satunya bagian dari otak yang terpapar langsung dengan dunia luar. Melalui pengetahuan dalam memahami kelainan refraksi dan langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasinya, kita dapat menjaga kualitas penglihatan dan kesehatan mata dengan lebih baik. [admin]


By Admin
Dibuat tanggal 14-06-2023
115 Dilihat
Bagaimana Tanggapan Anda?
Sangat Puas
76 %
Puas
10 %
Cukup Puas
5 %
Tidak Puas
10 %