Adiksi internet semakin menyita perhatian serius mengingat semakin meningkatnya orang menggunakan internet secara berlebihan sehingga mengganggu kehidupan pribadi maupun sosialnya. Ayo Mas Bro edisi Selasa (22/06/2021) dipandu penyiar Lia Yunita memberikan perhatian khusus terhadap hal tersebut. Bersama RSUD Dr. R. Sosodoro Djatikoesoemo mensosialisasikan tentang Pencegahan dan Tata Laksana Adiksi Internet.
Narasumber dr. Utami Sanjaya, Sp.KJ menjelaskan bahwa istilah adiksi internet sudah dikenal 1998. Mulai familiar 2014 keatas karena penelitian mulai banyak dari efek-efek yang ditimbulkan adiksi semakin luas, semakin merugikan, semakin banyak penelitian. Adiksi internet hampir sama dengan adiksi Napsa/Narkoba.
“Kerusakan yang diakibatkan oleh adiksi internet berdasar penelitian gangguan otak hampir sama dengan adiksi Napsa, kecanduan yang sama-sama kita takutkan. Kecanduan Napsa ada impuls yang tidak terkontrol, ada pikiran berlebihan dalam penggunaan maupun aksesnya. Sehingga bila tidak mendapatkan kebutuhan internet ada gangguan-gangguan psikologis yang ditimbulkan seperti kecemasan/kegelisahan sehingga mengganggu fungsi dia secara keseluruhan,” ungkap dr. Utami.
Orang terkena mulai remaja, tinggi kasusnya di Asia Tenggara, diatas 16 tahun. Hasil penelitian 90% remaja menggunakan internet di rumah, edukasi internet di rumah. Pada jenis kelamin perempuan internet digunakan untuk akses media sosial misalnya instagram, WA, Tik Tok. Tujuannya mencari informasi, menjalani pertemanan atau hanya untuk mengisi waktu luang. Kalau laki-laki internet untuk game online/judi online, pornografi. Karena sifat laki-laki, dengan adanya tantangan kompetitif akan mendapat kepuasan lebih meningkat.
Lebih lanjut dr. Utami menyampaikan, faktor resiko Adiksi Internet masa pandemi covid-19 meningkat tajam 5 kali lipat karena penggunaan lebih dari 10 jam/perhari. Terus untuk media sosial tidak ada jeda karena mendapat kesenangan, sulit untuk menghentikan karena mendapat kesenangan. Di masa pandemi ada kecemasan sehingga beralih ke internet sebagai hiburan. Kemudian ada komorbid, ini memang sebelumnya ada gangguan psikiatri/psikologis yang pelariannya kearah internet sehingga penggunaan internet resikonya lebih besar.
“Pada saat kita mendiagnosis untuk menyebutkan bahwa orang kecanduan atau tidak, kita harus mengetahui tujuan dia untuk apa, ada manfaat atau tidak, terganggu atau tidak hubungan interpersonalnya, apakah serasa hidup di dunia maya. Kebanyakan efek negatif pada anak-anak/remaja (umur 14-16 tahun) adalah sering meninggalkan tugas. Karena kecanduannya sampai mencuri untuk mengisi data, meninggalkan tugas-tugas sekolah daring, muncul gangguan agresif yang dialihkan ke dunia nyata, merasa marah /terganggu, ini semua efek negatif,” tandasnya.
Pengenalan secara dini terhadap internet untuk anak berumur kurang dari 8 tahun maka harus mengetahui screen time, waktu dimanaanak boleh melihat gadget. Namun untuk anak umur kurang 1 tahun beresiko gangguan bicara. Jika usia 1-2 tahun tidak boleh lebih dari 1 jam dan yang boleh dilihat hal bersifat komunikatif/interaktif misal video call. Usia 3-4 tahun juga diperbolehkan maksimal 1 jam seperti melihat video kartun.
Sedangkan untuk anak diatas umur tersebut maka kita harus menegakkan aturan-aturan waktu penggunaan internet, dengan perjanjian. Misal setelah menyelesaikan tugas, tidak boleh saat family time, jangan sampai ada fenomena phubbing (masing-masing fokus dirinya sendiri). Orang tua harus mengetahui aplikasi-aplikasi yang mengatur penggunaan gadget untuk anak. Banyak di playstore seperti screentime parental control. Orang tua juga harus update pengetahuan IT-nya.
Sementara itu jika adiksi internet sudah sampai ada gangguan psikiatri maka harus ditangani, dirawat inap. Efek negatifnya didetoksifikasi/diambil secara paksa di fasilitas kesehatan. Sebelumnya kita lakukan pendekatan persuasif. Melalui psikoterapi anak diajak bicara, apa ada latar belakang yang menyebabkan pengunaan internet berlebihan. Apakah dari faktor pengabaian orang tua, apakah ada trauma kemampuan memecahkan masalah yang larinya ke internet.
“Jika sudah ketemu baru dilakukan psikoterapi atau pemberian obat. Karena orang dengan adiksi internet spesifik seperti game online, judi online sangat mengganggu ketidakharmonisan suatu keluarga. Ada pula trading online yang menimbulkan stress sehingga pelarian ke hal-hal negatif maka hal ini membutuhkan obat terlebih dahulu agar atensi, cara berfikirnya normal kembali. Baru setelah itu dimasukkan afirmasi positif,” lanjutnya.
Terapi kasus adiksi adalah Dialectical Behaviour Therapy (terapi perilaku). Disini pasien diajak untuk memusatkan pikirannya. Kemudian pasien diajak mengenali bagaimana menangani emosi negatif yang muncul. Kemudian kita memberikan keterampilan-keterampilan kepada pasien untuk menangani stress-stress yang dialami. Sehingga jika pasien menghadapi stress pelariannya tidak ke internet. RSUD Sosodoro telah memiliki fasilitas rawat inap untuk pasien-pasien tersebut. (Nuty/Kominfo)
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
Sangat Puas
75 % |
Puas
10 % |
Cukup Puas
5 % |
Tidak Puas
10 % |